Pembukaan area perkebunan swasta atau partikelir (particuliere landerijen) oleh pemerintah kolonial yang geliatnya sudah dimulai pada akhir abad 17 (resolusi tentang tanah apanage Gubernur Jenderal tanggal 15 Februari 1686), mendorong gerak laju perekonomian di daerah seputaran kota Batavia (Ommelanden), seperti Bogor, Tangerang dan Bekasi.
Ommelanden menjadi kawasan industri pertanian dan perkebunan yang bernilai tinggi, terutama karet, tebu, kelapa, padi, sayur-mayur dan buah-buahan.
Perkembangan ini memaksa pemerintah kolonial untuk membangun jalur transportasi arah selatan menuju Bogor (De Groet Zuiderweg) di tahun 1678 sampai kemudian dibangunnya rangkaian rel kereta api Manggarai-Cakung-Bekasi-Cikarang hingga terus ke Kedunggedeh pada tahun 1887.
Pembangunan itu digunakan untuk menunjang percepatan arus barang-jasa dan manusia di wilayah selatan dan timur Batavia, namun di sisi lain kawasan ini menjadi daerah yang tidak kondusif dan rawan kejahatan yang dipenuhi gejolak sosial pada masyarakatnya.
Baca Juga:
Salah satu yang menjadi penyebab utama adalah gagalnya pemerintah Batavia mengontrol kebijakan dari tuan tanah (landheer) para pemilik dan penyewa perkebunan swasta (landhuurder).
Tuan-tuan tanah bagai raja kecil yang dengan sesuka hati mengekploitasi hasil bumi dan tenaga manusia, mengeluarkan beban kepada para petani baik berupa tanam paksa (cultuurstelsel), pungutan pajak maupun kerja wajib (herendiensten) dan kerja intiran yang jam kerjanya diatur oleh perkebunan (cultuurdiensten).
Keadaan ini menimbulkan resistensi dari kalangan petani, dengan melakukan tindakan destruktif dan kriminal terhadap kesewenang-wenangan tuan tanah, seperti pencurian, perampokan, pembakaran, serta pembunuhan.
Muncul apa yang kemudian pemerintah kolonial namakan sebagai bandiet atau bendewezen (pengacau) yang mengganggu ketenangan dan ketertiban. Kondisi lingkungan menjadi tidak aman, masyarakat di sekitar Batavia terutama dari kalangan penguasa tanah partikelir merasa perlu untuk melipat gandakan pengamanan, terutama penjagaan di waktu malam hari yang pelaksanaannya sudah ada jauh sebelum dibukanya area perkebunan di seputar Batavia.
Jaga malam di area perkebunan swasta abad 19 merupakan kebijakan sistem keamanan lingkungan yang sudah diterapkan pemerintah kolonial dan para tuan tanah, merupakan bagian dari kerja intiran.
Di daerah perkebunan Vorstenlanden (Jawa Tengah dan Yogyakarta) sistem keamanan lingkungan dengan berjaga malam disebut Dinas Kemit, sedangkan di Batavia dan sekitarnya disebut Tugur. Petugas Tugur disebut Serean Jaga yang dipersenjatai cagak berduri dan berdinas mendiami gardu pos yang dilengkapi dengan kentongan.
Serean Jaga umumnya adalah laki-laki yang cukup usia, diutamakan yang memiliki keberanian, terlebih memiliki kemampuan ilmu silat. Serean Jaga tidak mendapat upah sebagaimana centeng atau upas, karena merupakan bagian dari kerja intiran.
Istilah lain untuk jaga malam adalah Ronda, hanya lebih tertuju kepada kegiatan menjaga keamanan di malam hari dengan cara berkeliling atau patroli.
Awalnya istilah Ronda cenderung lebih banyak digunakan di pusat kota Batavia (Binnenstad). Ronda merupakan kata serapan dari kosa kata Portugis yang memiliki arti harfiah jaga malam (Antonio Pinto Da Franca, 1985. Hal: 94). Dalam bahasa Portugis sinonim dari kata Ronda adalah Patrulha yang berarti patroli.
Di masa penjajahan Jepang, Tugur dan Ronda sangat penting kedudukannya mengingat pemerintah militer Jepang (Gunseikanbu) sedang membangun dan mempersiapkan kekuatan daerah-daerah koloni menghadapi sekutu.
Kedudukan Tugur dan Ronda dibawah wewenang Tonarigumi, yaitu satuan pemerintahan terbawah yang dibentuk oleh pemerintah militer Jepang untuk mengawasi aktivitas warga serta mendukung kebijakan politik dan ekonomi Jepang. Tonarigumi merupakan cikal bakal Rukun Tetangga (RT) sekarang.
Tugur dan Ronda sebagai sebuah istilah jaga malam dan patroli, pada zaman Jepang dapat dilihat pada harian Tjahaja edisi 09 December 1943, halaman 4;
“Toegoer, artinja berdjaga-djaga; mendjaga kampoeng malam hari atau pada masa jang genting. Biasanja, sekalian laki-laki jang sehat dan masih koeat bekerdja. Bergilir-gilir mendjaga kampoeng dengan tidak mendapat oepah sepeserpoen. Segiliran ditentoekan beberapa orang, misalnja sepoeloeh atau doea belas. Mereka bertanggoeng djawab kepada seloeroeh kampoengnja atas keselamatan kampoengnja itoe. Biasanja toegoer tadi mempoenjai “hopwah”, gardoe, namanja. Disitoelah kepala toegoer membagi-bagi pekerdjaannja, menanti berita dari toegoer jang pergi meronda. Di gardoe tadi ada seboeah taboeh besar, sedang masing-masing toegoer jang ronda, membawa seboeah taboeh ketjil. Dari taboehnja itoe orang tahoe, bahwa disitoe ada “ronda”. Djika ada bahaja atau perloe mendapat pertolongan, toekang taboeh tadi memberi tanda dengan poekoelan taboehnja jang “nitir”, taboeh dipoekoel tjepat-tjepat dan njaring. Mereka bersendjatakan Tjagak oentoek menangkap pendjahat atau binatang boeas jang ketjil-ketjil, misalnja moesang, matjan toetoel, serigala dan sebagainja. Kadang-kadang dibawanja djoega tombak atau “koeli”, sendjata sematjam tombak.”
Di masa kini istilah Tugur tidak lagi dikenal, masyarakat umum lebih mengenal menjaga keamanan di malam hari dengan sebutan Ronda, satu istilah lokal yang akhirnya punah tergerus oleh kata serapan asing.
Lebih jauh lihat buku:
Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api karya Margreeth van Till yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.
Pemberontakan Petani Banten karya Sartono Kartodirdjo yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.
Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee atau kontak langsung ke WA 081385430505