Sejak karantina politik membelenggu langkah Bung Karno, setiap gerak-gerik dan aktivitasnya selalu diawasi dengan superketat. Yurike Sanger, salah satu istrinya, mengungkapkan perasaan apa yang dialaminya saat-saat kudeta merangkat itu terjadi.
“Yang kusesalkan, mengapa hal itu tidak dibukakan terus terang kepadaku? Aku toh masih isterinya? Kujawab sendiri, mungkin Bung Karno tak ingin membuatku lebih sedih lagi,” ungkap Yuri.
Padahal tidak demikian. Dengan berbagi penderitaan, menceritakan keluh-kesahnya kepadaku, tekanan batin yang dialaminya pasti berkurang. Alangkah tragis nasibnya! Bayangan semua perbuatannya untuk persatuan dan kejayaan bangsanya segera cair di depan mata. Pemimpin yang reputasinya juga dikenal luas dan memperoleh respek dunia internasional itu kini terkucil dalam kesunyian.
Tiga belas tahun lamanya Bung Karno ikhlas terlempar ke dalam penjara kolonial dan dibuang ke sana ke mari hanya karena beliau mengabdi kepada satu cita-cita luhur dan berjuang demi terlaksananya cita-cita luhur tersebut. Beliau gali butir-butir Pancasila dan beliau rumuskan sampai menjadi pegangan hidup seluruh bangsa.
Baca Juga:
- Aidit di Malam 30 September 1965
- Onghokham Sejarawan Hedonis Jakarta
- Pram dan Asal-Usul Neofeodalisme di Jakarta
Dengan bakat orasinya yang sulit tersaingi, dengan bekal ilmu pengetahuannya yang demikian luas dan dengan cakrawala pemikirannya yang jauh ke depan, kandungan Pancasila itu dia pidatokan tanpa teks pada 1 Juni 1945 di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.
Ironisnya, saat ini Pancasila tersebut seolah mengejeknya.
Bung Karno mungkin ditakdirkan hidup dengan sangat dicintai sekaligus dibenci, dipuja sekaligus dikutuk. Yuri mengetahui benar, ia merasa paling senang jika menyadari adanya arus persahabatan yang ikhlas, penuh simpati terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya. Matanya segera bercahaya lembut jika bersentuhan dengan air kasih sayang yang hangat.
Yuri membayangkan, pasti Bung Karno sangat kesepian. Dia tak lagi bisa menyiram tanamannya setiap saat dia inginkan. Di tempatnya dikarantina, barangkali Bung Karno hanya dapat memandang dengan guratan wajah yang semakin mengharukan.
*
Suatu malam Bung Karno datang dengan wajah sangat sedih. Tentu saja dikawal, tetapi kali ini dikawal sebagai seorang tahanan. Yuri mengungkapkan ia segera menyambutnya dengan derai air mata.
“Bagaimana keadaan Adik?” Tanya Bung Karno.
“Baik-baik saja, Mas,” jawab Yuri dengan ludah tertelan.
“Syukurlah.”
Sejenak hening menganga. Bung Karno memandangi sepuasnya seluruh isi rumah dengan sinar tidak bercahaya.
Kemudian:
“Mas punya masalah. Bisakah Adik ikut membantu memecahkan?” singgung Yuri agak ragu. Ia takut bertanya, walaupun ingin sekali bertanya.
“Mas butuh uang dan harus segera diperoleh. Jumlahnya sekitar Rp 2 juta.” Kata Bung Karno.
Untuk apa uang itu? Tanya Yuri.
“Dalam waktu dekat ini aku mau mengawinkan salah seorang anak perempuanku. Berhubung dengan itu Mas butuh dana untuk biaya pernikahannya. Seperti halnya bapak-bapak yang lain, aku pun tak ingin membuat sedih anakku dan justru pada saat dia akan menyongsong hidup barunya. Untuk yang satu itu yakni pernikahan anakku, Mas tidak ingin diberi stempel sebagai bapak yang gagal. Lepas dari itu, bagaimana pun Mas ingin tetap dinilai sebagai bapak yang punya tanggungjawab di depan anak-anaknya.” Ungkap Bung Karno.
Yuri mendengarkan dengan haru yang mencekam.
“Yang menjadi persoalan utama, Mas tidak punya uang! Hidupku selama ini sama sekali untuk bangsa dan negara, samasekali untuk kepentingan nasional,” kata Bung Karno lagi.
Sebagai isteri Yuri sangat ingin membantunya! Belum pernah kulihat Bung Karno sesedih itu.
Lupakah Bung Karno bahwa ratusan buah koleksi lukisannya harganya sangat mahal jika dijual? Aku yakin para kolektor akan berebut membeli lukisan koleksi Bung Karno tersebut dengan harga tinggi.
“Mas kan bisa menjual satu atau dua buah lukisan koleksi Mas,” kata Yuri dengan nada yang mengapung.
Bung Karno tersentak. Yuri gugup. Adakah kata-katanya yang tidak berkenan?
“Dik, semua lukisan milikku kubeli dengan uangku sendiri, beberapa di antaranya kubeli dengan cara mencicil kepada pelukisnya. Lukisan itu tidak akan aku jual, berapa pun harganya. Nilai lukisan-lukisan itu tidak bisa dihargai dengan uang.
Meskipun demikian, andaikata ada orang yang suka lukisan koleksiku dan hatiku sedang gembira, lukisan itu akan aku hadiahkan dengan suka rela. Tetapi untuk dijual, jangan harap!” urai Bung Karno.
“Maaf saya tidak tahu, Mas,” kata Yuri dengan wajah meminta maaf.
“Kalau Adik tidak bisa mengusahakan, tidak apa-apa,” kata Bung Karno.
“Saya akan coba mengusahakannya, Mas,” kata Yuri.
Bung Karno memandangku dengan garis harapan yang samar.
“Mudah-mudahan Tuhan memberi kita jalan,” sambung Yuri mantap.
Bung Karno seperti ingat sesuatu: “Tetapi jangan sekali-kali Adik katakan uang itu adalah untuk Bung Karno. Apa kata orang?!”
“Tentu, Mas, tentu!” sambut Yuri bersemangat.
“Bagaimana cara Adik mengusahakannya?” selidik Bung Karno.
Bagaimana ya? Mendadak Yuri bingung sekali. Yang muncul di kepalanya saat itu hanya semangat membantu meringankan keruwetan suami. Hanya semangat. Ditanya Bung Karno bagaimana cara membantunya, langsung ‘gelagepan’.
Bung Karno seperti tahu pikiranku.
“Adik lupakanlah urusan itu,” katanya lirih.
Yuri tergugah sekali.
“Tidak!Saat ini saya memang tidak tahu apa yang harus dilakukan, Mas. Tetapi jika kita memohon pertolongan Tuhan, benar-benar memohon, masa iya sih Tuhan tidak membantu kita?” kata Yuri.
“Mudah-mudahanlah, Dik,” sabut Bung Karno.
Sepeninggal Bung Karno, Yuri khusuk berdoa. Tenggelam dalam sunyi. Benar-benar mohon petunjuk-Nya, mohon bimbingan-Nya.
Bimbingan itu terjadi esok harinya. Yuri menelepon seorang kenalannya, orang Tionghoa, lalu disampaikan keinginan meminjam uang. Jumlah sesuai yang disebut Bung Karno. Aneh, tanpa bertanya apa pun dia bilang bisa meminjami. Dia sama sekali tidak bertanya untuk apa uang itu, barang berharga apa yang akan dijaminkan dan kapan dikembalikan. Dia hanya mengatakan akan mengambil uang dalam bentuk dollar AS itu ke bank, lalu menukarkannya ke rupiah.
Lega setengah mati! Bertamabh lega berlipat ganda saat uang rupiah dalam bungkusan karung kecil itu sudah diserahkan kepada Bung Karno. Terlihat jelas mata Bung Karno berkaca-kaca. Mestinya terharu.
Sukarno berkata lirih: “Betul Adik tidak bilang bahwa uang itu untuk Bung Karno?”
Kuangguki cepat.
“Alangkah mulianya hati teman Adik itu. Entah kapan, insya Allah, aku ingin berkenalan dengannya,” tutur Bung Karno.
Perasaan senang karena bisa menolong kesusahan suami lenyap tiba-tiba ketika menyaksikan Bung Karno memanggul bungkusan uang itu dan pergi menjauh. Sempat tertangkap genangan air mata menyembul di pelupuknya. Yuri pun merasa air matanya akan tumpah dan menahan sebisanya, tetapi lepas bagaikan bendungan pecah ketika deru jip yang membawa Bung Karno yang berstatus tahanan rumah itu menjauh.
Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA karya Kadjat Adra’i, hlm. 381-386 Bukunya tersedia di Tokopedia, BukaLapak, Shopee dan www.komunitasbambu.id atau kontak langsung ke WA 081385430505
Lebih jauh baca:
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Sukarno, Orang Kiri, Revolusi dan G30S 1965 karya Onghokham yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Sukarno dan Modernisme Islam karya Muhammad Ridwan Lubis yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Sukarno Muda karya Peter Kasenda yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Hari-hari Terakhir Orde Baru karya Peter Kasenda yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Penghancuran PKI karya Olle Tornquis yang bisa didapatkan di Tokopedia, dan Shopee.
Musim Menjagal karya Geoffrey Robinson yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee dan www.komunitasbambu.com atau telpon ke 081385430505