Bung Hatta doyan kluyuran sambil menikmati jajanan kaki lima Jakarta. Sejak tiba di Jakarta pada 1919, ia rutin saben Sabtu sore sampai malam menikmati jalan-jalan Jakarta.
Jakarta mempesona Bung Hatta. Sejak tiba di Jakarta, pada pertengahan tahun 1919, Bung Hatta doyan betul berspeda kluyuran ke pelbagai jurusan kota.
Selama dua tahun sekolah di Prins Hendrik School (PHS), semangat kluyuran itu tetap dijaga. Di dalam autobiografinya Mohammad Hatta Memoir (1982) dia menulis: “Setelah aku memperoleh buku-buku dari M’a Etek Ayub [pamannya], aku tidak banyak lagi keluar berjalan-jalan dengan naik sepeda seperti sebelumnya. Aku hanya tetap keluar tiap-tiap hari Sabtu sore.”
Demikianlah saban hari Sabtu sore Bung Hatta telah mufakat untuk kluyuran dengan Bahder Djohan, sahabatnya yang sekolah di Stovia dan sama aktif dalam JSB (Jong Sumatranen Bond). Sesuai janji Bung Hatta menjemput Bahder di asramanya yang tepat onder boomen Jawi-Jawi gedong Stovia.
Jam lima sore Bung Hatta telah berdiri di kamar tidur Bahder Djohan lantas menggoncang ranjang dan berteriak: “Hai, bagaimana ini, hari sudah pukul lima!”
Dari gedong Stovia mereka berjalan kaki ke Pasar Baru, duduk-duduk sambil makan nasi goreng dan sate ayam serta minum kopi. Kelar jajan terus pergi nonton gambar idup (film) di bioskop Globe Pasar Baru. Bubar bioskop kira-kira jam sembilan atau atau setengah sepuluh masih mereka sambung lagi kluyuran dengan ngiter Weltevreden sampai jam 11 malam.
Kluyuran mentok pada satu warung kopi di Senen yang sering didatangi oleh Klepek (murid-murid sekolah Stovia). Setelah mengantarkan Bahder Djohan pulang ke Stovia, Bung Hatta pulang naik speda.
Tradisi kluyuran itu hanya terganggu kalau hujan turun lebat dengan gluduk pating blegur yang tidak memungkinkan orang kluyuran. Juga kadang-kadang diundurkan apabila Bahder menghadapi ulangan anatomi. Guru anatomi, Dr. Vogelpoel, begitu ditakuti oleh Klepek, tidak ada diantara mereka yang berani mengabaikan waktu kalau akan menempuh ulangan anatomi.
Tetapi, ulangan atau ujian tidak bikin Bung Hatta brenti kluyuran Sabtu sore Dalam autobiografinya ia menulis: “Seluruh waktu dapat kutumpahkan untuk pelajaran sekolah. Bulan Mei aku harus menempuh ujian PHS penghabisan. Hanya dengan Bahder Djohan aku tetap bertemu, tiap-tiap petang Sabtu malam Minggu sebagaimana biasanya.”
Selama kluyuran itu terjadi pertukaran pikiran mengenai persoalan tanah air dan dunia, misalnya soal peradaban, perbedaan kultur Barat dan Timur, tempat bangsa Melayu di Asia Tenggara. Bahkan ide awal Sumpah Pemuda 1928 kemungkinan besar berawal dari pembicaraan kluyuran itu ketika sampai pada persoalan bahasa melayu dan komunikasi serta kerjasama antarpulau lingkungan Nusantara dengan mempertemukan antara organisasi daerah (Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Minahasa) dalam satu wadah Jong Indie.
Cerita Bung Hatta si Tukang Kluyuran di Jakarta itu bisa menjadi bukti bahwa dulu Jakarta sangat menyenangkan, nyaman. Jalan-jalan berskala manusia terasa akrab dan bersahabat dengan lingkungannya sehingga timbul kesan kota yang lebih merakyat.
Jakarta juga terkesan aman dan tertib sehingga tak harus risau kluyuran menikmati sore hingga ke larut malam. Jakarta pun mampu meresapkan identitas lingkungan dengan tidak meremehkan keunikan lokal, misalnya kaki lima. Sehingga sifat kesenangan pada outdoor personality masyarakat Indonesia menemukan saluran.
Baca Juga:
- Pram dan Asal-Usul Neofeodalisme di Jakarta
- Sukarno Banyak Anak, Tak Suka KB
- Si Biang Kerok Benyamin S
Selain bahwa kaki lima dalam suatu kota yang padat dengan bangunan mewah akan sangat meneduhkan penghuninya dengan masuk ke tenda-tenda yang intim akrab berskala manusia.
Merunut pada pemikiran arsitek Eko Budihardjo dalam Arsitektur dan Kota di Indonesia (1983), maka Bung Hatta pergi ke Senen menikmati makan di kaki lima, berdialog dan berkomunikasi yang akrab sebagai pembeli dan penjual boleh juga dikatakan sebagai upaya meresapkan sosialisme, yakni bertahan dalam kebersamaan menghadapi tantangan hidup yang penuh kegetiran.
Cerita kluyuran Bung Hatta, meminjam istilah Romo Mangunwijaya, membuktikan bahwa Jakarta pernah menjadi kota yang dirancang sangat memperhatikan “Guna” dankegetiran
Guna menunjukkan pada keuntungan, pemanfaatan dan pelayanan yang dapat diperoleh dari kota. Lebih jauh lagi kota punya daya yang menyebabkan penghuninya bisa hidup lebih tentram-nyaman sehingga inspirasi, kreativitas tergairah dan prestasi pun meningkat.
Citra menunjuk pada suatu gambaran (image), suatu kesan penghayatan yang berarti bagi seseorang. Jakarta di masa kluyuran Bung Hatta terkesan manusiawi, akrab, menarik, berkepribadian, dan sebagai kota hidup tenang aman siang malam.
Dua hal itulah yang terutama kini menghilang dari Jakarta. Di Jakarta pejalan kakilah yang bernasib paling sial. Jalur mereka diserobot. Jakarta lebih memanjakan pemakai kendaraan bermobil atau motor, jalur untuk mereka dijaga, tetapi jalur pejalan kaki diganggu terus oleh galian kabel atau pipa lalu ditinggalkan bopeng juga ojek.
Batu koral berserakan bikin was-was dan takut kena sasaran melejit dihimpit ban kendaraan melompat melukai. Tepi jalan dirampas jadi parkiran. Identitas lingkungan lenyap tertelan bangunan raksasa yang mendewakan teknologi dan mempersetankan aspek budaya; menekankan fungsi bangunan dan meremehkan keunikan-keunikan lokal; mengutamakan pertimbangan-pertimbangan rasional dan mengabaikan intuisi, semua menghasilkan wajah lingkungan yang monoton, membosankan, tak berkarakter.
Tiada lagi kenyamanan kluyuran sebab lalulintas semakin menumpuk dalam bentuk kemacetan, kecelakaan lalulintas, polusi suara, asap, bau, dan getaran. Jalan-jalan kotor, pengap dan tidak aman, dijejali berbagai jenis kendaraan dan kejahatan. Sampah ditimbun menggunung di tepi jalan.
Pedagang kaki lima bergerilya musuh tibum. Jalur hijau ditumbuhi pertokoan dan perumahan mewah, gang-gang di kompleks perumahan yang semula berfungsi sebagai living space untuk sarana kontak sosial penduduknya diterabas menjadi jalan tikus keluar dari kemacetan.
Mengenang Bung Hatta sebagai tukang kluyuran Jakarta, teringat ungkapan Brent C. Brolin dalam The Failure of Modern Architecture (1976): “Dulu kalau kita berpergian selalu menjumpai kenikmatan-kenikmatan visual dan kultural tak terduga, sekarang kita dihadapkan pada wajah-wajah lingkungan kota yang anonimous tidak berjiwa.”
Pernah dimuat di Media Indonesia 16 Juni 2011